SURABAYA – Prof Soetandyo Wignjosoebroto MPA adalah salah satu sosok paling prominen dalam bidang sosiologi hukum di Indonesia. Pendiri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR itu dikenal sebagai sosok pendidik yang rendah hati dan humanis.
Untuk menghormati dan mengenang jasanya, FISIP UNAIR menggelar Soetandyo Award setiap tahunnya. Penghargaan itu diberikan kepada mereka yang berdedikasi memelihara nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, pembelaan kaum marjinal, inklusivitas, toleransi, dan demokrasi, serta memberikan perhatian besar pada HAM.
Soetandyo Award 2022 diberikan kepada CEO Info Media Digital Wahyu Dhyatmika. Hal itu menjadi spesial, lantaran Wahyu adalah alumnus FISIP UNAIR pertama yang menerima penghargaan tersebut.
Mengutip Prof Tandyo, Wahyu mengatakan bahwa ruang publik yang sehat adalah bagian esensial dari sistem hukum Indonesia. Akan tetapi, pengesahan RKUHP baru-baru ini dianggap merebut kebebasan sipil dan masuk ke ruang-ruang privat.
“Negara yang seharusnya ada di garda paling depan melindungi kebebasan sipil, justru menjadi perpanjangan tangan kekuasaan yang ingin merebut kembali hak kebebasan sipil, ” tutur Wahyu pada Kamis (15/12/2022).
Di sisi lain, menurut Wahyu, lanskap jurnalistik di Indonesia belum sepenuhnya memihak pada kepentingan publik. Ia belum berhasil menjadi representasi suara-suara rakyat.
“Lanskap media kita tidak banyak berubah. Kepemilikan masih terpusat pada pengusaha yang memiliki afiliasi politik tertentu, ” ujar peraih Nieman Fellowship Harvard University tersebut.
Selain itu, media digital kini semakin mengandalkan iklan sebagai pemasukan. Model bisnis seperti itu, lanjut Wahyu, sangat mendewakan kuantitas berita dan klik yang diperoleh.
“Pembaca menjadi sebatas angka saja. Menjadi komoditas. Hasilnya adalah jurnalisme clickbait.”
Di samping permasalahan tersebut, wajah jurnalisme kian tercoreng dengan adanya permasalahan seperti hilangnya kepercayaan terhadap media arus utama, persekusi wartawan, hingga media yang bias gender dan kelompok minoritas.
“Inilah lanskap ekosistem informasi kita hari ini. Ketika hukum menjadi perpanjangan tangan dari mereka yang berkuasa, yang terjadi adalah disintegrasi. Harga yang harus dibayar adalah potensi social disaster, ” tegas Wahyu.
Karenanya, Wahyu membuat berbagai macam terobosan guna memperbaiki ekosistem media informasi di Indonesia.
Ia memastikan Tempo menjadi media independen karena tidak ada pemilik saham mayoritas. Selain itu, Tempo juga menginisiasi Tempo Witness agar untuk mengamplifikasi suara kelompok-kelompok marjinal.
“Ini adalah inisiatif untuk mengembalikan kedaulatan berita kepada pembaca. Kami mengembalikan kuasa media pada rakyat, ” imbuhnya.
Berkolaborasi dengan berbagai media Indonesia, Tempo.co juga menginisiasi IndonesiaLeaks. Platform tersebut adalah wadah bagi informan publik (whistleblower) untuk memberikan informasi demi kepentingan publik. IndonesiaLeaks ada untuk melindungi identitas para whistleblower tersebut.
“Kalau anda mengirim informasi ke IndonesiaLeaks, kami di ruang redaksi tidak akan pernah tahu identitas anda, ” jelas Wahyu.
Cekfakta juga merupakan karya lain dari Wahyu. Bersama dua ratus media lainnya, platform kolaboratif tersebut diniatkan dapat mengatasi masalah berita hoax di Indonesia.
Di akhir, dirinya menegaskan bahwa pemikiran-pemikiran Prof Tandyo menjadi semakin relevan hari ini. Jurnalisme harus mampu menjaga ruang publik dan kepentingan umum, sesuai dengan alasan awal adanya jurnalisme itu sendiri.
“Jurnalisme harus kembali kepada ruhnya.”
Penulis: Ghulam Phasa Pambayung
Editor: Khefti Al Mawalia